Furukawa Battery – Jika ingin melihat kedisiplinan suatu bangsa, lihatlah kondisi jalan rayanya. Adagium yang susah dibantah. Seperti yang diungkapkan oleh Kepala Korps Lalu Lintas Polri (Kakorlantas Polri) Irjen Royke Lumowa, disiplin berlalu lintas akan menjadi cerminan dari perilaku keseharian sebenarnya para pengendara.
“Kalau kita sudah disiplin di jalan. Kita disiplin di kantor, di mana-mana. Jalan raya jadi repersentasi bagaimana kita, jalan raya adalah percontohan kita untuk melihat diri,” ujar Royke saat memberikan kuliah umum di Universitas Trisakti, Jalan Kyai Tapa, Jakarta Barat, setahun silam.
Perilaku berlalu lintas juga akan menjadi cerminan sebuah kota bahkan hingga mempengaruhi citra negara. “Melihat kota yang semrawut, investor bilang, ‘wah’, martabat kita (menjadi) turun apalagi melihat saling serobot di jalan,” ujar Royke.
Disiplin di sini tak melulu taat pada aturan yang ada di jalan raya. Berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah, berhenti di belakang garis putih, dan seterusnya. Namun juga disiplin dalam mentaati aturan terkait dengan kendaraan yang kita pakai.
Apakah spion sudah terpasang dengan benar? Apakah lampu utama menyorot dengan arah yang benar?
Nah, yang belum lama ini ramai diperbincangkan di salah satu komunitas sepeda motor adalah soal knalpot. Seorang pengendara motor Kawasaki Ninja 250 kena tilang gara-gara knalpot bawaan pabrikan diganti dengan knalpot racing. Ngenesnya lagi, knalpot itu baru digunakan semingguan tapi sudah harus berpisah dengan pemiliknya karena diciduk petugas.
Mengganti knalpot pabrikan dengan knalpot pasaran memang lumrah dilakukan orang dengan banyak alasan. Ada yang demi tampilan, ada pula yang demi kinerja. Motor memang menjadi lebih “beringas” ketika menggunakan knalpot pasaran yang lebih dikenal dengan knalpot racing.
Namun harus diingat bahwa pabrikan pun memiliki alasan mengapa memasang knalpot yang kurang beringas itu. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup no 7 tahun 2009.
Coba lihat dalam lampiran II peraturan tersebut. Seperti yang dikutip oleh Beritagar.id, ada tabel yang menunjukkan bahwa sepeda motor dengan mesin bervolume hingga 80cc memiliki ambang batas kebisingan 77dB. Motor dengan mesin 80cc-175 cc ambang batas kebisingannya 80dB, sementara di atas 175cc adalah 83dB.
Peraturan inilah yang kemudian menjadi rujukan dari Undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan seperti termaktub dalam pasal 28.
Masalahnya, bagaimana dengan mereka yang memasang knalpot racing tapi suara bisingnya masih di bawah ambang batas yang diperbolehkan? Ternyata masih ada peraturan lain yang kudu kita perhatikan.
Hukum Online merujuk pada Pasal 285 UU No 22 Tahun 2009 di atas. Pasal tersebut menjelaskan bahwa pengendara motor yang membawa kendaraan bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan (di antaranya knalpot) akan ditindak.
Bunyi lengkap pasal tersebut adalah:
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Kata kuncinya, menurut Hukum Online, adalah “tidak memenuhi persyaratan teknis”. Di sinilah yang kemudian memunculkan perdebatan. Bagaimana klausul “memenuhi persyaratan teknis” itu? Apakah semua suku cadang asli dari pabrik pembuatnya?
Untuk sementara, ada baiknya kita percaya pada pabrik saja. Mereka membikin sebuah produk tentu sudah melalui riset dan pengembangan yang njlimet. Jika ingin memasang knalpot racing, ya pas di sirkuit saja.
Yuk tertib aturan!
Foto: freeimages.com